Pengertian Ilmu Sosial Budaya Dasar
Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar adalah cabang ilmu pengetahuan yang merupakan integrasi dari dua
ilmu lainnya, yaitu ilmu sosial yang juga merupakan sosiologi (sosio:sosial,
logos: ilmu) dan ilmu budaya yang merupakan salah satu cabang dari ilmu sosial.
Pengertian lebih lanjut tentang ilmu sosial adalah cabang ilmu
pengetahuan yang menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk menanggapi
masalah-masalah sosial, sedangkan ilmu budaya adalah ilmu yang termasuk dalam
pengetahuan budaya, mengkaji masalah kemanusiaan dan budaya.
Secara umum dapat
dikatakan ilmu sosial dan budaya dasar merupakan pengetahuan yang diharapkan
dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep
yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah sosial manusia dan kebudayaan.
Istilah ISBD dikembangkan pertama kali di Indonesia sebagai
pengganti istilah basic humanitiesm yang berasal dari istilah bahasa Inggris
“the Humanities”. Adapun istilah humanities itu sendiri berasal dari bahasa
latin humnus yang artinya manusia, berbudaya dan halus.
Secara sederhana
ISBD adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan
pengertian umum tentang konsep-konsep yang diekembangkan untuk mengkaji
masalah-masalah manusia dan kebudayaan.
Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa
menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan mempelajari
the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih
berbudaya dan lebih halus. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa the humanities
berkaitan dengan nilai-nilai manusia sebagai homo humanus atau manusia
berbudaya.
PERTIKAIAN ANTAR SUKU DI PAPUA
Kampung Kembeli dan Banti adalah dua kampung
yang letaknya dekat Tembagapura, sebuah kota modern di tengah rimba Papua. Tak
jauh dari kota itu terdapat dua kampung yang kini sedang bentrok yang oleh
masyarakat Indonesia disebut perang suku. Ironinya dua kampung ini termasuk di
dalam kawasan operasional PT Freeport Indonesia.
Pertikaian antar suku itu mulai
berlangsung pada Selasa (16/10) lalu. Hingga kini pertikaian itu belum juga
selesai. Walaupun Wagub Alex Hesegem sudah memerintahkan aparat Pejabat Bupati Mimika Allo Rafra dan
Kapolres Mimika AKBP GH Mansnembra untuk segera menuntaskan kasus pertikaian
antar kampung tersebut.
Pertikaian dan
Budaya
Pertikaian ini bukan sesuatu yang baru.
Setahun yang lalu tepatnya 3 Agustus 2006, juga terjadi perang suku di Kwamki
Lama. Upaya damai pun dilakukan dan upacara patah panah untuk mengakhiri perang
yang terjadi sejak 24 Juli 2006 lalu juga digelar.
Antropolog Universitas Cenderawasih,
Dr. JR. Mansoben mengingatkan, upacara patah panah hanya berarti kesepakatan
gencatan senjata. Ia mengharapkan Muspida Mimika segera memfasilitasi upacara
bakar batu untuk mengukuhkan perdamaian."Dalam upacara bakar batu, arwah
para leluhur menjadi saksi kesepakatan damai tersebut. Karena kesepakatan damai
melibatkan seluruh kosmos, para pihak yang bertikai akan menghormati perdamaian
itu," tutur Mansoben.
Namun pertikaian ternyata belum
berakhir dan sampai kapan ini akan terus terjadi di lokasi pertambangan PT Freeport
Indonesia ini. Apakah ini memang sengaja dilakukan agar satu demi satu hilang
akibat pertikaian sendiri? Banyak pihak mengambil keuntungan di balik timbulnya
perang suku. Minimal daerah ini dikatakan tidak aman karena ada perang suku
sehingga peran keamanan justru dibutuhkan di daerah areal konsesi milik
perusahaan asing ini.
Jika disimak,
sebenarnya terjadinya perang suku di Papua bukan masalah baru, melainkan sudah
berlangsung sejak nenek moyang. Kalau jaman nenek moyang dulu ada tiga hal yang
menyebabkan terjadinya perang yang dikutip dari buku Amungme Manusia Utama dari
Nemangkawi Pegunungan Cartensz, 2000 oleh Arnold Mampioper, antara lain:
Uang harta kawin
yang tidak dilunaskan hingga mengakibatkan terjadinya perampasan wanita atau
pencurian babi.
Korban perang
yang tidak dibayar oleh klen yang menjadi pokok perkara atau dalam bahasa suku
Amungme disebut nemum.
Pelanggaran batas kawasan ketika
seseorang/kelompok masyarakat berburu pada daerah yang bukan miliknya.
Perang terbesar
terjadi di kawasan Amungme sekitar tahun 1952 – 1953 antara keret Katagame dari
kelompok Ninume melawan keret Kemong di pihak Ondimangau. Namun perang suku itu
berhasil dihentikan oleh Pastor M. Kamerer dan Guru Moses Kilangin tokoh
pendidikan asal suku Amungme.Selanjutnya para pastor dari missi Katolik dan
missionaris secara perlahan mulai membuka sekolah dan gereja di daerah Distrik
Akimuga Kabupaten Mimika. Jelas ini membawa perubahan sehingga sejak itu perang
suku jarang terdengar lagi. Atau berangsur-angsur berkurang.
Kalau pun ada tak sebesar jaman dulu
karena jaman sudah berubah dan motif peperangan pun mulai dihindari. Kepala
Museum Negeri Jayapura, Drs Paul Jaam yang juga seorang antropolog mengatakan
kalau jaman dulu perang suku bisa terjadi karena memang belum saling mengenal,
tetapi sekarang ini karena perubahan sosial dan ekonomi sehingga pertikaian
antar kampung mulai timbul.
Ada juga perang suku yang terjadi
akibat pelanggaran atas tempat sakral yang biasanya digunakan oleh penduduk
sebagai tempat bertapa kepada roh leluhur atau persembahan.
Analisa
Artikel 2
Di Papua banyak terdapat pertikaian
antar suku misalnya antara Kampung Kembeli dan Banti, perang suku di Kwamki
Lama, perang suku di kawasan Amuungme antara Keret Katagame dari Kelompok
Ninume melawan Keret Kemong di pihak Ondimangau.
Pertikaian atau
perang antar suku yang terjadi di Papua disebabkan oleh:
Perubahan sosial
dan ekonomi sehingga pertikaian antar kampung mulai timbul.
Pelanggaran antar
suku seperti pelanggaran atas tempat sakral yang biasanya digunakan oleh
pendudukan sebagai tempat bertapa kepada roh leluhur atau persembahan.
Perlanggaran batas kawasan ketika
seseorang/kelompok masyarakat berburu pada daerah yang bukan miliknya.
Uang harta kawin
yang tidak dilunaskan hingga mengakibatkan terjadinya perampasan wanita atau
pencurian babi.
Korban perang
yang tidak dibayar oleh klen yang menjadi pokok perkara atau dalam bahasa suku
Amungme disebut nemum.
Kasus yang terjadi pada artikel 2
termasuk salah satu contoh kasus akibat adanya diferensiasi sosial yaitu
diferensiasi sosial kategori etnisitas karena pertikaian atau perang antarsuku
di Papua tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan budaya atau etnis antara
suku satu dengan suku lainnya. Diferensiasi sosial dapat diartikan sebagai
perbedaan atau pengelompokan seseorang secara horizontal (sejajar). Artinya
tidak ada golongan atau kelompok
yang lebih tinggi dari golongan atau kelompok lain.
Demikian pula yang terjadi antarsuku,
tidak ada suku yang lebih tinggi dari suku lainnya, semua suku memiliki
kedudukan yang sama. Sehingga misalnya ada penduduk dari suku A yang menyentuh
kebebasan suku B seperti melakukan pelanggaran atas tempat sakral di suku B,
maka tidak heran jika perang
tidak dapat dihindari di antara kedua suku tersebut, karena tidak ada kedudukan
yang lebih tinggi diantara keduanya sehingga suku B merasa dihina oleh suku A
lalu timbullah perang diantara keduanya. Setiap suku yang ada, berpegang teguh
pada budaya yang telah diwariskan secara turun temurun.
Atas dasar itu, kasus pada artikel 2
termasuk salah satu kasus yang terjadi akibat adanya diferensiasi sosial bukan
stratifikasi sosial karena diferensiasi sosial adalah pengelompokan dengan
melihat perbedaan secara horizontal, tidak ada tingkatan-tingkatan di dalamnya.
Sedangkan stratifikasi sosial adalah pengelompokan dengan melihat perbedaan
secara vertikal, terdapat penggolongan ke dalam kelas-kelas atau
tingkatan-tingkatan yang tersusun secara bertingkat.
Upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya pertikaian antarsuku adalah adanya sikap toleransi
antarsuku sehingga tercipta kerukunan antarsuku dan sikap saling menghormati
serta menghargai kebudayaan dan batas-batas suku lain. Jika sudah terjadi
pertikaian maka pemerintah dan masyarakat
harus bisa meredakan dan mengatasi pertikaian antarsuku tersebut. Selain
itu, pemerintah dan kepala suku harus secara giat dan berkala melakukan upacara
bakar batu bersama sebagai upaya pemersatu dan untuk menghindari
percikan-percikan api konflik yang akan terjadi.
Komentar
Posting Komentar